Berinteraksi dengan orang lain tidak selalu menyenangkan bahkan sering kali kita mendapat gangguan dari mereka yang menyebabkan kita tidak bisa sabar dalam menghadapinya hingga muncul dari diri kita tindakan yang tidak pantas.
solusinya?
Agar Sabar Menghadapi Gangguan
Buah karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
Ada beberapa hal yang bisa membantu seorang hamba untuk bersabar jenis yang ini.
Ada beberapa hal yang bisa membantu seorang hamba untuk bersabar jenis yang ini.
1. Menyadari bahwa Allah subhanahu wa ta’ala yang menciptakan perbuatan para hamba
Perbuatan hamba, baik gerak, diam, maupun keinginannya, semua adalah ciptaan Allah subhanahu wa ta’ala. Apa yang Allah subhanahu wa ta’ala kehendaki pasti terjadi, sedangkan yang tidak Dia kehendaki tidak akan terjadi. Tidak ada hal sekecil apa pun yang bergerak, di alam yang tinggi dan yang rendah, kecuali dengan izin Allah subhanahu wa ta’ala dan kehendak-Nya. Para hamba adalah alat.
Karena itu, pandanglah kepada Dzat yang menguasakan mereka atas diri Anda, jangan Anda lihat perbuatan mereka terhadap Anda. Dengan demikian, Anda akan bisa terlepas dari kecemasan dan kesedihan.
2. Menyadari dosa-dosanya
Hamba mengakui dosa-dosanya dan mengakui pula bahwa Allah subhanahu wa ta’ala menguasakan mereka atas dirinya akibat dosa yang diperbuatnya. Hal ini sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Dan musibah apa pun yang menimpa kalian maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (asy-Syura:30)
Apabila hamba mempersaksikan bahwa dia ditimpa oleh segala hal yang tidak disukai akibat dosa-dosanya, ia akan menyibukkan diri dengan bertobat dan memohon ampunan atas dosa-dosa yang menyebabkan Allah subhanahu wa ta’ala menguasakan mereka atas dirinya tersebut. Dia tidak lagi (memiliki waktu) untuk mencela, mengecam, dan mencaci maki mereka.
Apabila Anda melihat seorang hamba mencaci maki orang yang menyakitinya, tidak mau berintrospeksi dan mencela dirinya sendiri, serta tidak memohon ampunan, ketahuilah bahwa musibah yang menimpanya adalah musibah yang sejati.
Apabila si hamba bertobat dan memohon ampunan seraya berkata bahwa hal ini disebabkan dosa-dosanya, gangguan manusia tersebut berubah menjadi kenikmatan baginya.
Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu mengucapkan sebuah kalimat yang indah, “Seorang hamba hendaknya tidak berharap selain kepada Rabbnya, dan tidak khawatir kecuali terhadap dosanya.”
Diriwayatkan pula dari beliau radhiallahu ‘anhu dan yang selainnya, “Tidaklah terjadi sebuah bencana kecuali karena dosa, dan tidak akan dihilangkan bencana itu kecuali dengan tobat.”
3. Menyadari pahala yang baik yang dijanjikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala terhadap orang yang memaafkan dan bersabar.
Hal ini sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik, pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang lalim.” (asy-Syura: 40)
Dalam hal menghadapi gangguan orang lain, manusia terbagi menjadi tiga golongan:
1. Zalim; dia mengambil lebih banyak daripada haknya.
2. Pertengahan; dia mengambil sebatas haknya.
3. Berbuat baik; dia memaafkan dan tidak mengambil haknya.
Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan tiga golongan ini dalam ayat di atas. Awal ayat (Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa) untuk golongan yang pertengahan; pertengahan ayat (barang siapa memaafkan dan berbuat baik, pahalanya atas [tanggungan] Allah) untuk golongan yang berbuat baik; dan akhir ayat (Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang lalim) untuk golongan yang zalim.
Selain itu, dia menyadari pula seruan sang penyeru pada hari kiamat,
“Berdirilah orang yang telah Allah pastikan pahalanya.”
Tidak ada yang berdiri (menyambut seruan itu) selain orang yang memaafkan dan melakukan perbaikan.
Jika bersamaan dengan itu dia mempersaksikan bahwa pahalanya akan hilang apabila dia menyiksa dan membalas (gangguan tersebut), akan mudah baginya bersabar dan memaafkan.
4. Menyadari bahwa jika hamba memaafkan dan berbuat baik, hal itu akan mewariskan keselamatan kalbunya terhadap saudaranya.
Selain itu, hal ini akan membersihkan kalbu dari niat buruk, rasa dendam, ingin menuntut balas, dan berbuat jahat, sekaligus mendapatkan manisnya pemaafan.
Pemaafan tersebut berlipat ganda lebih lezat dan lebih bermanfaat di dunia dan di akhirat daripada manfaat yang didapat jika dia membalas gangguan orang. Dia pun akan masuk dalam (golongan yang disebutkan oleh) firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Ali ‘Imran: 134)
Dia akan dicintai oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Keadaannya seperti seseorang yang dirampas darinya uang satu dirham lantas diganti dengan ribuan dinar. Ketika itulah dia akan sangat gembira dengan anugerah Allah subhanahu wa ta’ala terhadap dirinya.
5. Mengetahui bahwa tidak ada seorang pun yang membalas (gangguan orang lain) karena kepentingan pribadinya kecuali akan mewariskan kehinaan dalam jiwanya.
Apabila dia memaafkan, Allah subhanahu wa ta’ala akan memuliakannya. Inilah yang dikabarkan oleh ash-Shadiqul Mashduq (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) dalam sabdanya,
“Tidaklah Allah subhanahu wa ta’ala menambah kepada hamba dengan pemaafan selain kemuliaan.”
Kemuliaan yang didapatkan seorang hamba dengan sebab pemaafan lebih dia sukai dan lebih bermanfaat baginya daripada kemuliaan yang didapatkan dengan sebab membalas. Kemuliaan yang seperti ini hanyalah secara lahir, namun mewariskan kerendahan dalam batin. Adapun pemaafan memang terasa rendah dalam batin, tetapi mewariskan kemuliaan lahir dan batin.
6. Faedah terbesar: menyadari bahwa balasan itu sesuai dengan amalan, dan bahwa dirinya sendirilah yang zalim dan berdosa.
Dia juga mempersaksikan bahwa siapa yang memaafkan orang lain, Allah subhanahu wa ta’ala akan memaafkannya; siapa yang mengampuni (kesalahan) orang lain, Allah subhanahu wa ta’ala pun akan mengampuninya.
Apabila hamba mempersaksikan bahwa perbuatan memaafkan dan berbuat baik kepada mereka yang berbuat jelek kepadanya akan menyebabkan dirinya dibalasi oleh Allah subhanahu wa ta’ala sebagaimana amalannya. Allah subhanahu wa ta’ala akan memaafkan, tidak mengungkit, dan berbuat baik kepada dirinya meskipun dirinya berdosa; menjadi mudah baginya memaafkan orang dan bersabar atas gangguannya.
Cukuplah faedah ini bagi orang yang berakal.
7. Mengetahui bahwa apabila dirinya sibuk menuntut balas, waktunya akan sia-sia, kalbunya akan tercerai berai, dan akan luput darinya sekian banyak kebaikan yang tidak bisa dia raih.
Bisa jadi, (musibah) ini lebih berat daripada musibah yang dia dapatkan akibat gangguan orang.
Apabila dia memaafkan dan tidak menolehnya lagi, kalbu dan badannya lapang untuk menggapai berbagai maslahat yang lebih penting baginya daripada membalas.
8. Perbuatannya membalas, mengambil haknya, dan membela, dilakukan untuk kepentingan pribadinya.
Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah sekali pun membalas karena kepentingan pribadi beliau. Demikianlah keadaan makhluk-Nya yang terbaik dan termulia, tidak pernah membalas demi kepentingan pribadinya. Padahal menyakiti beliau berarti menyakiti Allah subhanahu wa ta’ala dan terkait dengan hak-hak agama.
Di samping itu, pribadi beliau adalah jiwa yang paling mulia, paling suci, paling berbakti, paling jauh dari segala akhlak tercela, dan paling berhak memiliki segenap akhlak mulia. Meski demikian, beliau tidak pernah membalas demi kepentingan pribadi.
Lantas, bagaimana bisa salah seorang dari kita membalas demi kepentingan pribadinya, padahal dirinya paling tahu tentang jiwanya dan berbagai kejahatan serta aibnya sendiri?
Orang yang arif menganggap pribadinya tidak bernilai hingga pantas membalas. Dia pun menilai pribadinya tidaklah berharga hingga pantas untuk dibela.
9. Apabila dia disakiti karena amalannya yang ikhlas untuk Allah subhanahu wa ta’ala, karena ketaatan yang diperintah oleh-Nya, atau karena maksiat yang dilarang oleh-Nya, dia wajib bersabar dan tidak boleh membalas.
Sebab, dia disakiti di jalan Allah subhanahu wa ta’ala, maka Allah subhanahu wa ta’ala yang akan memberi pahala untuknya. Karena itulah, ketika para mujahidin fi sabilillah kehilangan darah dan harta mereka di jalan Allah subhanahu wa ta’ala, tidak ada ganti ruginya.
Sebab, Allah subhanahu wa ta’ala telah membeli jiwa dan harta mereka dari diri-diri mereka, sedangkan harganya akan dibayar oleh Allah subhanahu wa ta’ala, bukan oleh makhluk. Barang siapa meminta bayaran dari makhluk, Allah subhanahu wa ta’ala tidak akan memberinya bayaran. Sebab, barang siapa yang binasa karena Allah subhanahu wa ta’ala, Dia-lah yang akan memberinya ganti.
Apabila disakiti karena mendapat musibah, kembalikanlah celaan kepada diri sendiri. Mencela diri sendiri akan menyibukkan diri sehingga tidak memiliki kesempatan untuk mencela orang yang menyakitinya.
Apabila disakiti karena mendapatkan karunia, mantapkanlah diri untuk bersabar. Sebab, tidak mendapatkan karunia, urusannya lebih pahit daripada bersabar.
Barang siapa tidak sabar terhadap teriknya tengah hari, hujan, salju, kesusahan dalam safar, dan perampok, tidak perlu dia berada di tempat dagangnya.
Ini adalah urusan yang sudah diketahui oleh manusia: siapa yang jujur mencari sesuatu, kesabaran untuk mendapatkannya akan diganti sesuai dengan kadar kejujurannya saat mencarinya.
10. Menyadari kebersamaan Allah subhanahu wa ta’ala dengannya, kecintaan, dan keridhaan-Nya apabila dia bersabar.
Barang siapa yang Allah subhanahu wa ta’ala bersamanya, Dia akan menghindarkan segala macam gangguan dan bahaya dari dirinya, dengan penghindaran yang tidak bisa dilakukan oleh salah satu makhluk-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Dan bersabarlah, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (al-Anfal: 46)
“Allah menyukai orang-orang yang sabar.” (Ali Imran: 146)
11. Menyadari bahwa kesabaran adalah separuh iman.
Dengan demikian, dia tidak akan mengganti sebagian keimanannya dengan balasan berupa pembelaan pribadinya. Jika bersabar, sungguh dia telah menjaga keimanannya dan melindunginya dari kekurangan. Dan Allah subhanahu wa ta’ala lah yang akan membela orang-orang yang beriman.
12. Menyadari bahwa kesabaran hamba akan mengatur, mengalahkan, dan mendominasi nafsunya.
Ketika nafsu terkalahkan dan didominasi oleh kesabaran, nafsu tidak akan memperbudak dan menawan dirinya lantas mencampakkannya dalam kebinasaan.
Sebaliknya, apabila dirinya taat, mendengar, dan dikalahkan oleh nafsu, nafsunya akan senantiasa bersama dirinya hingga menghancurkannya, kecuali jika dirinya diselamatkan oleh rahmat dari Rabbnya.
Seandainya tidak ada faedah kesabaran selain menundukkan nafsu dan setannya, sehingga kekuasaan kalbu tampak nyata, bala tentaranya pun teguh, gembira dan bertambah kuat, dan mengusir musuh, (tentu hal ini sudah cukup).
13. Mengetahui bahwa apabila hamba bersabar, Allah subhanahu wa ta’ala lah yang menolongnya, dan itu pasti.
Allah subhanahu wa ta’ala adalah pelindung orang yang bersabar dan menyerahkan orang
yang menzaliminya kepada-Nya. Adapun orang yang membela kepentingan pribadinya, Allah subhanahu wa ta’ala akan kuasakan dia kepada jiwanya. Jadilah dirinya semata yang menolong jiwanya.
Manakah yang lebih lemah penolongnya, orang yang menjadikan Allah subhanahu wa ta’ala sebaik-baik pemberi pertolongan ataukah orang yang menjadikan dirinya sendiri sebagai penolong?
14. Kesabaran dan ketabahan hamba menanggung gangguan orang lain akan menyebabkan musuhnya rujuk dari kezaliman, menyesal, meminta maaf, dan manusia akan mencela orang tersebut.
Setelah menyakiti, dia pun pulang dengan menanggung malu dan menyesali perbuatannya. Bahkan, dia akan menjadi orang yang paling loyal terhadap si hamba. Inilah makna firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan kecuali kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar.” (Fushshilat: 34—35)
15. Pembalasan yang hamba lakukan bisa jadi menyebabkan musuhnya semakin jahat, semakin bernafsu, dan semakin memikirkan beragam gangguan yang akan dilancarkan terhadap diri si hamba.
Hal ini terjadi sebagaimana yang telah disaksikan.
Apabila bersabar dan memaafkan, hamba akan aman dari bahaya ini. Orang yang berakal tidak akan memilih bahaya yang lebih besar dan menyingkirkan bahaya yang lebih kecil.
Betapa sering pembalasan justru menyebabkan kejahatan lain yang hamba tidak mampu menghindarinya. Betapa banyak jiwa, kekuasaan, dan harta yang hilang, padahal jika orang yang terzalimi mau memaafkan, semua itu akan tetap ada pada dirinya.
16. Barang siapa membiasakan diri membalas keburukan dan tidak bersabar, pasti dia berbuat zalim.
Sebab, jiwa tidak puas jika hanya membalas dengan yang seimbang. Terkadang jiwa tidak mampu menahan diri untuk membalas sekadar haknya. Kemarahan akan membawa pemiliknya sampai pada taraf tidak mampu memikirkan apa yang dia ucapkan dan lakukan.
Akibatnya, dia yang sebelumnya berstatus “terzalimi” dan menunggu pertolongan serta pemuliaan (dari Allah subhanahu wa ta’ala), berubah menjadi “menzalimi” dan ditunggu oleh kemurkaan dan hukuman (dari Allah subhanahu wa ta’ala).
17. Kezaliman yang dilakukan terhadap hamba akan menghapus keburukan-keburukan yang pernah dilakukannya atau mengangkat derajatnya.
Apabila dia membalas dan tidak bersabar, kezaliman tersebut tidak bisa menghapus keburukan ataupun mengangkat derajatnya.
18. Pemaafan dan kesabaran hamba adalah bala tentara terbesar menghadapi musuhnya.
Sebab, kesabaran dan pemaafan hamba tersebut akan merendahkan musuhnya, membuatnya takut dari hamba tersebut dan dari manusia. Orang lain tidak akan tinggal diam terhadap musuhnya, meskipun si hamba diam.
Akan tetapi, ketika hamba membalas, hilanglah semua hal tersebut. Oleh karena itu, Anda dapati mayoritas manusia ketika mencela atau menyakiti orang lain, dia ingin agar orang lain tersebut juga mengambil haknya dari dirinya. Ketika orang lain mengimbanginya, dia pun merasa lapang dan mencampakkan rasa berat yang sebelumnya dia rasakan.
19. Apabila si hamba memaafkan, musuhnya akan menyadari bahwa si hamba tersebut lebih tinggi kedudukannya.
Musuhnya pun merasa bahwa si hamba telah berhasil mengambil keuntungan darinya. Setelah itu, musuhnya akan selalu memandang bahwa dirinya lebih rendah dari si hamba.
Cukuplah hal ini menjadi keutamaan dan kemuliaan sikap memaafkan.
20. Apabila hamba memaafkan dan tidak lagi mengungkitnya, hal ini menjadi kebaikan baginya, yang akan melahirkan kebaikan yang lain.
Kebaikan yang lain itu akan melahirkan kebaikan berikutnya, begitu seterusnya. Dengan demikian, kebaikan si hamba akan senantiasa bertambah. Sebab, di antara balasan kebaikan adalah kebaikan pula, sebagaimana halnya balasan kejelekan adalah kejelekan berikutnya.
Bisa jadi, ini menjadi sebab keselamatan dan kebahagiaan yang abadi bagi hamba. Akan tetapi, jika dia membalas dan membela diri, hilanglah semua hal tersebut.
(Jami’ul Masail li Syaikhil Islam Ibnu Taimiyah, 1/168—174; diterjemahkan dari http://www.sahab.net/home/?p=1061, dengan beberapa penyesuaian)
Asy Syariah Edisi 109 & 113, Oase
© http://asysyariah.com/agar-sabar-menghadapi-gangguan-1/
© http://asysyariah.com/agar-sabar-menghadapi-gangguan-2/
solusinya?
Agar Sabar Menghadapi Gangguan
Buah karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
Ada beberapa hal yang bisa membantu seorang hamba untuk bersabar jenis yang ini.
Ada beberapa hal yang bisa membantu seorang hamba untuk bersabar jenis yang ini.
1. Menyadari bahwa Allah subhanahu wa ta’ala yang menciptakan perbuatan para hamba
Perbuatan hamba, baik gerak, diam, maupun keinginannya, semua adalah ciptaan Allah subhanahu wa ta’ala. Apa yang Allah subhanahu wa ta’ala kehendaki pasti terjadi, sedangkan yang tidak Dia kehendaki tidak akan terjadi. Tidak ada hal sekecil apa pun yang bergerak, di alam yang tinggi dan yang rendah, kecuali dengan izin Allah subhanahu wa ta’ala dan kehendak-Nya. Para hamba adalah alat.
Karena itu, pandanglah kepada Dzat yang menguasakan mereka atas diri Anda, jangan Anda lihat perbuatan mereka terhadap Anda. Dengan demikian, Anda akan bisa terlepas dari kecemasan dan kesedihan.
2. Menyadari dosa-dosanya
Hamba mengakui dosa-dosanya dan mengakui pula bahwa Allah subhanahu wa ta’ala menguasakan mereka atas dirinya akibat dosa yang diperbuatnya. Hal ini sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَمَآ أَصَٰبَكُم مِّن مُّصِيبَةٖ فَبِمَا كَسَبَتۡ أَيۡدِيكُمۡ وَيَعۡفُواْ عَن كَثِيرٖ
Apabila hamba mempersaksikan bahwa dia ditimpa oleh segala hal yang tidak disukai akibat dosa-dosanya, ia akan menyibukkan diri dengan bertobat dan memohon ampunan atas dosa-dosa yang menyebabkan Allah subhanahu wa ta’ala menguasakan mereka atas dirinya tersebut. Dia tidak lagi (memiliki waktu) untuk mencela, mengecam, dan mencaci maki mereka.
Apabila Anda melihat seorang hamba mencaci maki orang yang menyakitinya, tidak mau berintrospeksi dan mencela dirinya sendiri, serta tidak memohon ampunan, ketahuilah bahwa musibah yang menimpanya adalah musibah yang sejati.
Apabila si hamba bertobat dan memohon ampunan seraya berkata bahwa hal ini disebabkan dosa-dosanya, gangguan manusia tersebut berubah menjadi kenikmatan baginya.
Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu mengucapkan sebuah kalimat yang indah, “Seorang hamba hendaknya tidak berharap selain kepada Rabbnya, dan tidak khawatir kecuali terhadap dosanya.”
Diriwayatkan pula dari beliau radhiallahu ‘anhu dan yang selainnya, “Tidaklah terjadi sebuah bencana kecuali karena dosa, dan tidak akan dihilangkan bencana itu kecuali dengan tobat.”
3. Menyadari pahala yang baik yang dijanjikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala terhadap orang yang memaafkan dan bersabar.
Hal ini sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَجَزَٰٓؤُاْ سَيِّئَةٖ سَيِّئَةٞ مِّثۡلُهَاۖ فَمَنۡ عَفَا وَأَصۡلَحَ فَأَجۡرُهُۥ عَلَى ٱللَّهِۚ إِنَّهُۥ لَا يُحِبُّ ٱلظَّٰلِمِينَ ٤٠
“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik, pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang lalim.” (asy-Syura: 40)
Dalam hal menghadapi gangguan orang lain, manusia terbagi menjadi tiga golongan:
1. Zalim; dia mengambil lebih banyak daripada haknya.
2. Pertengahan; dia mengambil sebatas haknya.
3. Berbuat baik; dia memaafkan dan tidak mengambil haknya.
Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan tiga golongan ini dalam ayat di atas. Awal ayat (Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa) untuk golongan yang pertengahan; pertengahan ayat (barang siapa memaafkan dan berbuat baik, pahalanya atas [tanggungan] Allah) untuk golongan yang berbuat baik; dan akhir ayat (Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang lalim) untuk golongan yang zalim.
Selain itu, dia menyadari pula seruan sang penyeru pada hari kiamat,
لِيَقُمْ مَنْ وَجَبَ أَجْرُهُ عَلَى اللهِ
“Berdirilah orang yang telah Allah pastikan pahalanya.”
Tidak ada yang berdiri (menyambut seruan itu) selain orang yang memaafkan dan melakukan perbaikan.
Jika bersamaan dengan itu dia mempersaksikan bahwa pahalanya akan hilang apabila dia menyiksa dan membalas (gangguan tersebut), akan mudah baginya bersabar dan memaafkan.
4. Menyadari bahwa jika hamba memaafkan dan berbuat baik, hal itu akan mewariskan keselamatan kalbunya terhadap saudaranya.
Selain itu, hal ini akan membersihkan kalbu dari niat buruk, rasa dendam, ingin menuntut balas, dan berbuat jahat, sekaligus mendapatkan manisnya pemaafan.
Pemaafan tersebut berlipat ganda lebih lezat dan lebih bermanfaat di dunia dan di akhirat daripada manfaat yang didapat jika dia membalas gangguan orang. Dia pun akan masuk dalam (golongan yang disebutkan oleh) firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلۡمُحۡسِنِينَ ١٣٤
“Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Ali ‘Imran: 134)
Dia akan dicintai oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Keadaannya seperti seseorang yang dirampas darinya uang satu dirham lantas diganti dengan ribuan dinar. Ketika itulah dia akan sangat gembira dengan anugerah Allah subhanahu wa ta’ala terhadap dirinya.
5. Mengetahui bahwa tidak ada seorang pun yang membalas (gangguan orang lain) karena kepentingan pribadinya kecuali akan mewariskan kehinaan dalam jiwanya.
Apabila dia memaafkan, Allah subhanahu wa ta’ala akan memuliakannya. Inilah yang dikabarkan oleh ash-Shadiqul Mashduq (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) dalam sabdanya,
مَا زَادَ اللهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا
“Tidaklah Allah subhanahu wa ta’ala menambah kepada hamba dengan pemaafan selain kemuliaan.”
Kemuliaan yang didapatkan seorang hamba dengan sebab pemaafan lebih dia sukai dan lebih bermanfaat baginya daripada kemuliaan yang didapatkan dengan sebab membalas. Kemuliaan yang seperti ini hanyalah secara lahir, namun mewariskan kerendahan dalam batin. Adapun pemaafan memang terasa rendah dalam batin, tetapi mewariskan kemuliaan lahir dan batin.
6. Faedah terbesar: menyadari bahwa balasan itu sesuai dengan amalan, dan bahwa dirinya sendirilah yang zalim dan berdosa.
Dia juga mempersaksikan bahwa siapa yang memaafkan orang lain, Allah subhanahu wa ta’ala akan memaafkannya; siapa yang mengampuni (kesalahan) orang lain, Allah subhanahu wa ta’ala pun akan mengampuninya.
Apabila hamba mempersaksikan bahwa perbuatan memaafkan dan berbuat baik kepada mereka yang berbuat jelek kepadanya akan menyebabkan dirinya dibalasi oleh Allah subhanahu wa ta’ala sebagaimana amalannya. Allah subhanahu wa ta’ala akan memaafkan, tidak mengungkit, dan berbuat baik kepada dirinya meskipun dirinya berdosa; menjadi mudah baginya memaafkan orang dan bersabar atas gangguannya.
Cukuplah faedah ini bagi orang yang berakal.
7. Mengetahui bahwa apabila dirinya sibuk menuntut balas, waktunya akan sia-sia, kalbunya akan tercerai berai, dan akan luput darinya sekian banyak kebaikan yang tidak bisa dia raih.
Bisa jadi, (musibah) ini lebih berat daripada musibah yang dia dapatkan akibat gangguan orang.
Apabila dia memaafkan dan tidak menolehnya lagi, kalbu dan badannya lapang untuk menggapai berbagai maslahat yang lebih penting baginya daripada membalas.
8. Perbuatannya membalas, mengambil haknya, dan membela, dilakukan untuk kepentingan pribadinya.
Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah sekali pun membalas karena kepentingan pribadi beliau. Demikianlah keadaan makhluk-Nya yang terbaik dan termulia, tidak pernah membalas demi kepentingan pribadinya. Padahal menyakiti beliau berarti menyakiti Allah subhanahu wa ta’ala dan terkait dengan hak-hak agama.
Di samping itu, pribadi beliau adalah jiwa yang paling mulia, paling suci, paling berbakti, paling jauh dari segala akhlak tercela, dan paling berhak memiliki segenap akhlak mulia. Meski demikian, beliau tidak pernah membalas demi kepentingan pribadi.
Lantas, bagaimana bisa salah seorang dari kita membalas demi kepentingan pribadinya, padahal dirinya paling tahu tentang jiwanya dan berbagai kejahatan serta aibnya sendiri?
Orang yang arif menganggap pribadinya tidak bernilai hingga pantas membalas. Dia pun menilai pribadinya tidaklah berharga hingga pantas untuk dibela.
9. Apabila dia disakiti karena amalannya yang ikhlas untuk Allah subhanahu wa ta’ala, karena ketaatan yang diperintah oleh-Nya, atau karena maksiat yang dilarang oleh-Nya, dia wajib bersabar dan tidak boleh membalas.
Sebab, dia disakiti di jalan Allah subhanahu wa ta’ala, maka Allah subhanahu wa ta’ala yang akan memberi pahala untuknya. Karena itulah, ketika para mujahidin fi sabilillah kehilangan darah dan harta mereka di jalan Allah subhanahu wa ta’ala, tidak ada ganti ruginya.
Sebab, Allah subhanahu wa ta’ala telah membeli jiwa dan harta mereka dari diri-diri mereka, sedangkan harganya akan dibayar oleh Allah subhanahu wa ta’ala, bukan oleh makhluk. Barang siapa meminta bayaran dari makhluk, Allah subhanahu wa ta’ala tidak akan memberinya bayaran. Sebab, barang siapa yang binasa karena Allah subhanahu wa ta’ala, Dia-lah yang akan memberinya ganti.
Apabila disakiti karena mendapat musibah, kembalikanlah celaan kepada diri sendiri. Mencela diri sendiri akan menyibukkan diri sehingga tidak memiliki kesempatan untuk mencela orang yang menyakitinya.
Apabila disakiti karena mendapatkan karunia, mantapkanlah diri untuk bersabar. Sebab, tidak mendapatkan karunia, urusannya lebih pahit daripada bersabar.
Barang siapa tidak sabar terhadap teriknya tengah hari, hujan, salju, kesusahan dalam safar, dan perampok, tidak perlu dia berada di tempat dagangnya.
Ini adalah urusan yang sudah diketahui oleh manusia: siapa yang jujur mencari sesuatu, kesabaran untuk mendapatkannya akan diganti sesuai dengan kadar kejujurannya saat mencarinya.
10. Menyadari kebersamaan Allah subhanahu wa ta’ala dengannya, kecintaan, dan keridhaan-Nya apabila dia bersabar.
Barang siapa yang Allah subhanahu wa ta’ala bersamanya, Dia akan menghindarkan segala macam gangguan dan bahaya dari dirinya, dengan penghindaran yang tidak bisa dilakukan oleh salah satu makhluk-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَٱصۡبِرُوٓاْۚ إِنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلصَّٰبِرِينَ ٤٦
“Dan bersabarlah, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (al-Anfal: 46)
وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلصَّٰبِرِينَ ١٤٦
“Allah menyukai orang-orang yang sabar.” (Ali Imran: 146)
11. Menyadari bahwa kesabaran adalah separuh iman.
Dengan demikian, dia tidak akan mengganti sebagian keimanannya dengan balasan berupa pembelaan pribadinya. Jika bersabar, sungguh dia telah menjaga keimanannya dan melindunginya dari kekurangan. Dan Allah subhanahu wa ta’ala lah yang akan membela orang-orang yang beriman.
12. Menyadari bahwa kesabaran hamba akan mengatur, mengalahkan, dan mendominasi nafsunya.
Ketika nafsu terkalahkan dan didominasi oleh kesabaran, nafsu tidak akan memperbudak dan menawan dirinya lantas mencampakkannya dalam kebinasaan.
Sebaliknya, apabila dirinya taat, mendengar, dan dikalahkan oleh nafsu, nafsunya akan senantiasa bersama dirinya hingga menghancurkannya, kecuali jika dirinya diselamatkan oleh rahmat dari Rabbnya.
Seandainya tidak ada faedah kesabaran selain menundukkan nafsu dan setannya, sehingga kekuasaan kalbu tampak nyata, bala tentaranya pun teguh, gembira dan bertambah kuat, dan mengusir musuh, (tentu hal ini sudah cukup).
13. Mengetahui bahwa apabila hamba bersabar, Allah subhanahu wa ta’ala lah yang menolongnya, dan itu pasti.
Allah subhanahu wa ta’ala adalah pelindung orang yang bersabar dan menyerahkan orang
yang menzaliminya kepada-Nya. Adapun orang yang membela kepentingan pribadinya, Allah subhanahu wa ta’ala akan kuasakan dia kepada jiwanya. Jadilah dirinya semata yang menolong jiwanya.
Manakah yang lebih lemah penolongnya, orang yang menjadikan Allah subhanahu wa ta’ala sebaik-baik pemberi pertolongan ataukah orang yang menjadikan dirinya sendiri sebagai penolong?
14. Kesabaran dan ketabahan hamba menanggung gangguan orang lain akan menyebabkan musuhnya rujuk dari kezaliman, menyesal, meminta maaf, dan manusia akan mencela orang tersebut.
Setelah menyakiti, dia pun pulang dengan menanggung malu dan menyesali perbuatannya. Bahkan, dia akan menjadi orang yang paling loyal terhadap si hamba. Inilah makna firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَلَا تَسۡتَوِي ٱلۡحَسَنَةُ وَلَا ٱلسَّيِّئَةُۚ ٱدۡفَعۡ بِٱلَّتِي هِيَ أَحۡسَنُ فَإِذَا ٱلَّذِي بَيۡنَكَ وَبَيۡنَهُۥ عَدَٰوَةٞ كَأَنَّهُۥ وَلِيٌّ حَمِيمٞ ٣٤ وَمَا يُلَقَّىٰهَآ إِلَّا ٱلَّذِينَ صَبَرُواْ وَمَا يُلَقَّىٰهَآ إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٖ ٣٥
“Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan kecuali kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar.” (Fushshilat: 34—35)
15. Pembalasan yang hamba lakukan bisa jadi menyebabkan musuhnya semakin jahat, semakin bernafsu, dan semakin memikirkan beragam gangguan yang akan dilancarkan terhadap diri si hamba.
Hal ini terjadi sebagaimana yang telah disaksikan.
Apabila bersabar dan memaafkan, hamba akan aman dari bahaya ini. Orang yang berakal tidak akan memilih bahaya yang lebih besar dan menyingkirkan bahaya yang lebih kecil.
Betapa sering pembalasan justru menyebabkan kejahatan lain yang hamba tidak mampu menghindarinya. Betapa banyak jiwa, kekuasaan, dan harta yang hilang, padahal jika orang yang terzalimi mau memaafkan, semua itu akan tetap ada pada dirinya.
16. Barang siapa membiasakan diri membalas keburukan dan tidak bersabar, pasti dia berbuat zalim.
Sebab, jiwa tidak puas jika hanya membalas dengan yang seimbang. Terkadang jiwa tidak mampu menahan diri untuk membalas sekadar haknya. Kemarahan akan membawa pemiliknya sampai pada taraf tidak mampu memikirkan apa yang dia ucapkan dan lakukan.
Akibatnya, dia yang sebelumnya berstatus “terzalimi” dan menunggu pertolongan serta pemuliaan (dari Allah subhanahu wa ta’ala), berubah menjadi “menzalimi” dan ditunggu oleh kemurkaan dan hukuman (dari Allah subhanahu wa ta’ala).
17. Kezaliman yang dilakukan terhadap hamba akan menghapus keburukan-keburukan yang pernah dilakukannya atau mengangkat derajatnya.
Apabila dia membalas dan tidak bersabar, kezaliman tersebut tidak bisa menghapus keburukan ataupun mengangkat derajatnya.
18. Pemaafan dan kesabaran hamba adalah bala tentara terbesar menghadapi musuhnya.
Sebab, kesabaran dan pemaafan hamba tersebut akan merendahkan musuhnya, membuatnya takut dari hamba tersebut dan dari manusia. Orang lain tidak akan tinggal diam terhadap musuhnya, meskipun si hamba diam.
Akan tetapi, ketika hamba membalas, hilanglah semua hal tersebut. Oleh karena itu, Anda dapati mayoritas manusia ketika mencela atau menyakiti orang lain, dia ingin agar orang lain tersebut juga mengambil haknya dari dirinya. Ketika orang lain mengimbanginya, dia pun merasa lapang dan mencampakkan rasa berat yang sebelumnya dia rasakan.
19. Apabila si hamba memaafkan, musuhnya akan menyadari bahwa si hamba tersebut lebih tinggi kedudukannya.
Musuhnya pun merasa bahwa si hamba telah berhasil mengambil keuntungan darinya. Setelah itu, musuhnya akan selalu memandang bahwa dirinya lebih rendah dari si hamba.
Cukuplah hal ini menjadi keutamaan dan kemuliaan sikap memaafkan.
20. Apabila hamba memaafkan dan tidak lagi mengungkitnya, hal ini menjadi kebaikan baginya, yang akan melahirkan kebaikan yang lain.
Kebaikan yang lain itu akan melahirkan kebaikan berikutnya, begitu seterusnya. Dengan demikian, kebaikan si hamba akan senantiasa bertambah. Sebab, di antara balasan kebaikan adalah kebaikan pula, sebagaimana halnya balasan kejelekan adalah kejelekan berikutnya.
Bisa jadi, ini menjadi sebab keselamatan dan kebahagiaan yang abadi bagi hamba. Akan tetapi, jika dia membalas dan membela diri, hilanglah semua hal tersebut.
(Jami’ul Masail li Syaikhil Islam Ibnu Taimiyah, 1/168—174; diterjemahkan dari http://www.sahab.net/home/?p=1061, dengan beberapa penyesuaian)
Asy Syariah Edisi 109 & 113, Oase
© http://asysyariah.com/agar-sabar-menghadapi-gangguan-1/
© http://asysyariah.com/agar-sabar-menghadapi-gangguan-2/
Hari-hari kita bakal ruwet ketika terlalu banyak mendengar ocehan orang lain yang terlalu mencampuri urusan hidup kita..
![]() |
| fb.com/photo.php?fbid=742836305805809 |
