Adi bin hatim dimaki habis oleh orang itu. Adi
bin Hatim adalah salah seorang shahabat dekat Rasulullah. Entah karena sebab
apa, caci maki mengguyur laksana hujan lebat yang membasahi telinga Adi bin
Hatim. Walaupun demikian, Adi bin Hatim terlihat tenang. Diam dan tidak
berbicara sepatah kata pun. Adi bin Hatim malah asyik mendengarkan.
Puas sudah dia memaki. Cukup telah ia mencaci. Ia pun terheran-heran dengan sikap tenang Adi bin Hatim. Perlu diketahui, Adi bin Hatim ditokohkan bahkan diangkat sebagai pimpinan di tengah-tengah kaumnya. Bukannya tersinggung, marah-marah atau bahkan balas mencaci, Adi bin Hatim malah mengucapkan sederet kata luar biasa.
Ah, bisakah kita melakukan hal yang sama? Tahukah anda tentang sederet kata yang diucapkan olehnya?
“Misalnya masih ada lagi yang akan engkau sampaikan, segeralah katakan. Sebelum anak-anak muda dikampung ini berdatangan. Anak-anak muda itu jika mendengar kata-katamu tadi, mereka tidak akan rela.”
Decak kagumlah kita, tak lupa berucap tasbih, Subhanallah!
Seperti itulah salaf mengajarkan kesabaran kepada kita. Kesabaran dalam arti yang sesungguhnya. Bukan pula kesabaran yang dibuat-buat dalam bingkai kepalsuan. Atau kesabaran yang diikat dengan kebohongan demi memperoleh sanjungan dan pujian orang. Bagi salaf, kesabaran mesti menjadi perangai tetap seorang muslim.
Bandingkanlah! Bandingkanlah dengan diri kita sendiri, berkaca masing-masing. Jangan orang lain disekitar kita dulu. Kenapa harus berpikir tentang orang lain lalu membuat diri sendiri terlupakan?
Marilah bercerita tentang kita. Kita yang kerap tersinggung hanya karena dibentak orang. Kita yang gampang marah di sebabkan kata-kata menyakitkan dari seorang teman. Kita yang cepat emosi saat mendengar sindiran tetangga. Kita yang menaruh benci kepada seseorang karna pernah dicaci. Kita yang menyimpan dendam karena dikata-katain oleh atasan.
Puas sudah dia memaki. Cukup telah ia mencaci. Ia pun terheran-heran dengan sikap tenang Adi bin Hatim. Perlu diketahui, Adi bin Hatim ditokohkan bahkan diangkat sebagai pimpinan di tengah-tengah kaumnya. Bukannya tersinggung, marah-marah atau bahkan balas mencaci, Adi bin Hatim malah mengucapkan sederet kata luar biasa.
Ah, bisakah kita melakukan hal yang sama? Tahukah anda tentang sederet kata yang diucapkan olehnya?
“Misalnya masih ada lagi yang akan engkau sampaikan, segeralah katakan. Sebelum anak-anak muda dikampung ini berdatangan. Anak-anak muda itu jika mendengar kata-katamu tadi, mereka tidak akan rela.”
Decak kagumlah kita, tak lupa berucap tasbih, Subhanallah!
Seperti itulah salaf mengajarkan kesabaran kepada kita. Kesabaran dalam arti yang sesungguhnya. Bukan pula kesabaran yang dibuat-buat dalam bingkai kepalsuan. Atau kesabaran yang diikat dengan kebohongan demi memperoleh sanjungan dan pujian orang. Bagi salaf, kesabaran mesti menjadi perangai tetap seorang muslim.
Bandingkanlah! Bandingkanlah dengan diri kita sendiri, berkaca masing-masing. Jangan orang lain disekitar kita dulu. Kenapa harus berpikir tentang orang lain lalu membuat diri sendiri terlupakan?
Marilah bercerita tentang kita. Kita yang kerap tersinggung hanya karena dibentak orang. Kita yang gampang marah di sebabkan kata-kata menyakitkan dari seorang teman. Kita yang cepat emosi saat mendengar sindiran tetangga. Kita yang menaruh benci kepada seseorang karna pernah dicaci. Kita yang menyimpan dendam karena dikata-katain oleh atasan.
Mestinya kita mencontoh Adi bin Hatim. Tenang,
tidak terpancing, bukan terprovokasi. Harusnya kita meneladani Adi bin Hatim yang
mengajarkan kesabaran luar biasa.
Dan perlu diketahui, beliau tidak mengancam
dengan menggunakan kata “anak-anak muda”. Beliau hanya ingin menegaskan bahwa
caci maki orang itu tidak akan memberikan pengaruh apa-apa pada dirinya. Padahal,
caci maki semacam itu –pada umumnya- akan membuatorang marah dan tersinggung,
apalagi anak-anak muda.
Harus dari mana melangkaahnya? Mulailah
dari hal-hal kecil disekitar kita. Bersabar saat mendengar tangisan dan
rengekan anak. Bersabar ketika istri mulai cerewet dan sok tahu. Bersabar
sewajktu suami marah-marah dan cemberut. Bersabar sewaktu orang tua menuntut
hal-hal sulit. Bersabar kepada atasan yang terlalu menekan. Bersabar terhadap pegawai yang melakukan
kesalahan kerja.
Memang hidup di dunia ini penuh dengan cobaan.
Kesabaran kita akan terus diuji. Saat menghadapi ujian-ujian semacam itu,
harusnya kita sadar bahwa inilah kesempatan emas untuk meningkatkan kualitas
iman. Inilah waktunya untuk memperbaiki nilai kesabaran.Apalagi terkait dengan
omongan orang.
Telinga kita sering risih. Pendengaran kita
selalu saja terganggu. Oleh apa dan dengan apa? Oleh omongan orang. Bukankah
sering terjadi? Orang lain membicarakan keburukan kita, hal-hal yang bersifat
prifasi, rahasia, pribadi atau sesuatu yang sama sekali tidak benar. Iya,
berita bohong atau kabar burung. Apalagi caci maki orang, lebih-lebih jika
disampaikan kepada kita!
Ali bin Al Husain, cicit nabi Muhammad,
termasuk hamba penyabar. Saat ada orang dating mencaci dan memaki, para budak
miliknya langsung bereaksi. Mereka tersinggung dengan sikap orang tersebut.
Mereka hendak membela kehormatan majikannya. Namun, apa yang terjadi? Ali bin
Al Husain malah melarang mereka.
Tenang dan santai, Ali bin Al Husain
menghadapi orang itu. Katanya, “Masih banyak lagi kekurangan dan cacatku yang
belum engkau ketahui. Apakah engkau mempunyai kesulitan sehingga aku bisa membantumu?”
Malu dan sungguh-sungguh malu orang itu dibuat
oleh Ali bin Al Husain. Bukannya marah atau tersinggung, orang yang dicacinya
malah menawarkan bantuan. Akhirnya? Akhirnya Ali bin Al Husain melepas
selendangnya lalu diberikan kepada orang itu. Bahkan Ali bin Al Husain
menambahkan seribu dirham untuknya.
Tidak mudah memang. Namun, adakah yang sulit
bila dilatih dan terus dilatih. Puncak gunung tertinggi punbisa dicapai jika
kita mau mendaki. Walau selangkah demi selangkah, asalkan terus menerus
mendaki, pasti kita akan sampai di titik tertinggi. Demikian juga
bersabar. Selama ada tekat dan kemauan,
menjadi hamba penyabar bukanlah sebatas impian kosong.
Harus dari mana melangkaahnya?
Harus dimulai! Kalau tidak dari sekarang,
kapan lagi akan dimulai? Membaca-baca
ulang tentang kisah ulama yang menampilkan kesabaran juga tidak boleh
dilupakan. Sungguh dengan membaca cerita-cerita tentang mereka, semangat kita
akan tergugah. Terbangun untuk mencontoh mereka. Bangkit dari keterlenaan agar
mampu meneladani mereka.
Secara sengaja, seorang budak milik shahabat
Abu Dzar mematahkan kaki seekor kambing milik Abu Dzar. Wajar saja bila Abu
Dzar bertanya, mencari tahu siapkah pelakunya. Dan budak itu mengaku.
“Akulah yang melakukannya. Aku sengaja
mematahkan kaki kambing ini untuk membuatmu marah sehingga engkau memukulku
danengkau pun berdosa”.
Subhanallah! Ia berterus terang untuk membuat Abu Dzar marah.
Bahkan dengan sengaja, kaki kambing miliknya dipatahkan. Siapa pun orangnya –secara
fitrah- akan marah dan tersinggung. Namun hal ini tidak berlaku pada Abu Dzar.
Beliau justru mengatakan, “sudahlah. Justru aku akan membuat marah pihak yang
menyuruhmu!”
Abu Dzar malah memerdekakan budak itu.
Siapakah pihak yang menyuruh budak itu untuk
mematahkan kaki kambing milik Abu Dzar? Setan. Iya, bukankah setan yang
meniup-niupkan kejahatan di dada manusia? Bukankah setan yang berusaha
menjerumuskan kita dalam lumpur dosa? Bukankah setan berambisi untuk menciptakan
kebencian dan permusuhan diantara kita?
Lihatlah Abu Dzar ! Beliau mengerti betul makar
setan dalam peristiwa tersebut. Abu Dzar memahami bahwa jika ia marah, membentak-bentak,
atau memukul si budak, setan merasa berhasil. Setan akan merasa sukses karena
telah menyebabkan permusuhan di antara mereka. Oleh sebab itu, Abu Dzar justru
melakukan sesuatu yang diluar bayangan.
Abu Dzar mengambil
keputusan yang bertolak belakang dengan rencana setan. Abu Dzar memerdekakan
budak itu di atas dasar ketulusan. Bukan karena marah atau tersinggung karena
ia telah mematahkan kaki kambing miliknya. Iya, dengan kelapangan dada Abu Dzar
membebaskannya.
Sebuah riwayat Al Bukhari (3282), menyebutkan dua shahabat nabi yang terlibat pertengkaran, sampai wajahnya memerah dan urat lehernya terlihat membesar. Rasaulullah yang tidak jauh berada disana menyampaikan kepada Sulaiman bin Shurad shahabatnya. “ Sungguh! Aku mengetahui sebuah doa, andai orang itu mau mengucapkannya, rasa amarah itu akan hilang.”
Nah inilah yang mesti disadari saat dada
bergemuruh emosi. Inilah pula yang harus diingat ketika jiwa menggemakan
amarah. Tersinggung, sakit hati, kecewa, merasa dihina, atau apapunlah yang
dirasa. Sadarilah bahwa setan telah mengambil peranuntuk menanamkan kebencian
dan menebarkan bibit permusuhan di antara manusia.
Tentunya kita tidak ingin dimangsa setan. Kita
tidak rela menjadi korban kejahatan setan. Siapa pula yang secara sadar hendak
mengikuti langkah setan? Siapa pun yang menyisetitik iman tidak akan mau dipermainkan
oleh setan dengan tipu dayanya. Untuk melindungi dari goda bujuk setan,
Rasulullah membimbing kita untuk berucap doa.
Sebuah riwayat Al Bukhari (3282), menyebutkan dua shahabat nabi yang terlibat pertengkaran, sampai wajahnya memerah dan urat lehernya terlihat membesar. Rasaulullah yang tidak jauh berada disana menyampaikan kepada Sulaiman bin Shurad shahabatnya. “ Sungguh! Aku mengetahui sebuah doa, andai orang itu mau mengucapkannya, rasa amarah itu akan hilang.”
Inilah doa yang di tuntunkan nabi untuk kita baca
saat perasaan tersinggung, hati disakiti, dada sesak, penuh emosi atau amarah
memuncak. Beliau mengajarkan kita untuk berucap;
أعوذ بالله من الشيطان الرجيم
“Aku berlindung
kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk.”
Semoga kita mampu
menapaki tangga-tangga kesabaran agar meraih predikat sebagai hamba penyabar.
Menjadi hamba semacam Adi bin Hatim, Ali bin Al Husain, dan Abu Dzar. Menjadi
hamba yang tidak mudah terseret tipu daya setan. Wallahul muwaffiq.
Oleh: Ustadz Abu Nasim Mukhtar bin Rifa’i
Oleh: Ustadz Abu Nasim Mukhtar bin Rifa’i
Majalah Qudwah edisi 25 vol.3 1436H/2015 rubrik Muhasabah